Kemiskinan, Apa yang Tersirat? (dan Tersurat)


Gambar yang ngga nyambung sama sekali, buat formalitas saja.
Ada pepatah mengatakan, jika seseorang terlahir dalam keadaan miskin, maka itu bukan menjadi masalah, tapi jika seseorang mati dalam keadaan miskin, maka itu menjadi biang masalah.

Kekurangan diri utamanya materi seringkali menjadi highlight dalam kehidupan manusia. Kehidupan menjadi terkotak-kotak, antara si kaya dan si miskin, jenjang sosial semakin jauh, bagaikan langit dan bumi. Kekurangan materi atau lebih tepatnya kemiskinan, bukan merupakan malapetaka, bukan merupakan alasan bagi seseorang sehingga halal untuk mengucapkan cacian, makian atau sumpah serapah kepada Allah.

Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hidup tanpa kekayaan (uang) akan sedikit lebih sulit jika dibandingkan hidup dengan bergelimang harta. Orang akan sulit untuk makan enak dan tidur enak, bahkan akan sulit untuk belajar atau menuntut ilmu dengan enak jika kemiskinan mencekiknya.

Saat hidup serba kekurangan, tidak ada pekerjaan, setiap orang yang ditemui mungkin akan menjadi sekumpulan orang yang hobi mengernyitkan wajah. Tanpa perasaan bersalah mungkin raut wajahnya akan menunjukkan rasa marah. Padahal yang didekatnya ngga minta sedekah. Entah kenapa muncul pikiran negatif yang ujung-ujungnya ke arah mata setan (mata uang).

Kekurangan tidak bersifat kekal, pun juga kekayaan. Semua bagai roda berputar, kadang di atas, kadang di samping, kadang di bawah, kadang juga rodanya hancur karena tabrakan atau karena ban meletus akibat banyak paku jadi-jadian di jalanan. Manusia tidak tahu bagaimana keadaan selanjutnya.
Harta adalah titipan, kelak akan diminta oleh Yang Menitipkan. Kapan? Tidak ada manusia yang tahu, yang pasti titipan itu akan kembali, demikian dengan manusia, akan kembali.

Dunia hidup dalam harmoni saat manusia mau berbagi. Yang besar membantu yang kecil. Yang kuat membantu yang lemah. Yang mampu membantu yang kurang mampu, dan seterusnya. Keadaan seperti itu menunjukkan manusia mulai mensyukuri atas apa yang dimiliki. Berbagi itu tidak mengurangi rezeki -bukan logika matematika-
Kayalah dengan banyak memberi.

Jadi jangan suka menilai jelek orang miskin, atau terlalu mendewakan orang kaya, ingat semua itu adalah titipan, di hadapan Allah semua sama, lantas yang membedakan? adalah pakaian yang dipakai. :D Maksud saya pakaian keimanan & ketakwaan yang dipakai manusia untuk membungkus hatinya. Masih bingung dengan analoginya? Pokoknya begitu :D

Banyak orang sukses yang berjuang dari nol bahkan dari minus. Awal ketidaknyamanan yang dirasakan memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan mereka. Itu jika dan hanya jika manusia selalu memikirkan hal yang positif saja, tidak berlaku bagi manusia penganut faham burung sangkar (su'udhon), komunitas ghibah barokah atau pengikut-pengikut Nega Sang Pencuri (Thief), karena masa hidupnya akan habis untuk melakukan itu-itu saja, tidak untuk melakukan hal yang baik, bagus nan indah.

Miskin dan kaya, kita tahu, bahwa keduanya (menurut pendangan saya) termasuk dalam contoh teori relativitas :D, karena apa? Karena memang begitu -maksa-. Level kebahagiaan orang miskin bisa jadi akan melebihi ekspetasi (lebih tinggi) jika dibandingkan dengan level kebahagiaan orang kaya. Jadi intinya, kawan, miskin bukan tanda manusia itu hina, kaya bukan tanda manusia itu mulia, tidak bisa dijadikan spedometer barometer.

Mana yang lebih kaya? Si miskin yang hidup berkecukupan, pakaian sederhana, tidak memikirkan angsuran hutang tiap bulan, atau Si kaya, yang hidup di dalam rumah mewah bertingkat, mobil roda empat, perhiasan bergelantungan di leher, tetapi hampir tiap bulan dikejar-kejar sang pengkoleksi? Mana yang lebih kaya?
Orang miskin kaya hati (suka mensyukuri apa-apa yang dimiliki), orang kaya miskin hati (selalu kurang dan ingin sana-sini).

Jangan sombong dalam kemiskinan dan merasa hina dalam kekayaan, ini namanya orang bodoh.
Dan jangan sombong dalam kekayaan dan merasa hina dalam kemiskinan, ini namanya orang yang tidak syukur.
Kaya dan miskin adalah pilihan, dan keduanya merupakan bentuk cara pandang.

Semua orang ingin kaya, karena itu adalah cita-cita (sifat) manusia. Tidak ada orang yang ingin hidup miskin (kecuali Nabi Muhammad). Namun secercah harapan tentu akan selalu terlantunkan dalam do'a-do'a manusia. Memiliki kehidupan yang tercukupi dan tidak kekurangan, terhindar dari sifat-sifat buruk mata setan, memiliki keyakinan kuat untuk berjalan di atas rel keimanan dan ketakwaan, istrinya sholihah dan pintar masak, anak-anaknya cerdas, cantik, ganteng dan berakal, segala urusannya semakin mudah untuk diselesaikan, keluarganya bisa berkumpul dan ngopi bareng, dan harapan-harapan lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu mengingat waktu yang terbatas serta imajinasi yang sudah diambang batas.
 

Penulis sudah mulai nge-blank dan ngelantur. Jika ada kalimat yang menginspirasi, jangan gegabah untuk mengadopsi, dipikirkan baik-baik dulu, atau ditanyakan kepada yang lebih tahu, hanya khawatir nanti tulisan ini malah menjerumuskanmu dalam jurang masa lalu. Sekian.

Abid

No comments:

Instagram